Selasa, 05 April 2016

feminisme Psikoanalisis dan Gender



Setelah beberapa pertemuan kita sudah mempelajari feminis libral, radikal dan juga marxis. Sekarang kita mempelajari bab selanjutnya yaitu feminisme psikoanalisis dan gender. Psikoanalisis dan gender berpendapat bahwasanya cara bertindak perempuan berakar pada pesik perempuan, terutama dalam cara berfikir perempuan. Berdasarkan konsep freud seperti tahapan odipal dan kompleks odipus, mereka mengklaim bahwa ketidak setaraan gender berakar pada rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin dan perempuan memandang dirinya feminin.  Melainkan juga cara pandang masyarakat bahwasanya maskulinitas lebih baik daripada feminitas. Berhipotesis dalam masyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan feminitas akan dikonstruksikan berbeda dan dihargai secara setara, pesikoanalisis berpandangan bahwa kita harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, masyarakat ini manusia yang seutuhnya merupaakan campuran dari sifat-sifat positif feminin dan juga maskulin.
Lainhalnya dengan feminis gender yang berpendapat bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis antara feminitas dan juga maskulinitas. Mereka menekankan dalam nila-nilai tradisional yang dihubungkan dengan perempuan adalah kelembutan, kesederhanaan, rasa malu, sifat mendukung , empati, kepedulian, kehati-hatian, sifat merawat, intuisi, sensitivitas, dan ketidakegoisan hal ini menutut psikologis gender lebih baik daripada kelebihan nilai tradisional yang berhubungan dengan laki-laki, yaitu kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketahanan fisik, rasionalitas, dan kendali emosi. Olehkarena itu feminisme gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada feminitasnya dan laki-laki harus melepas bentuk eksrim dan juga maskulinnya. Menurut mereka, suatu kepedulian(ethics of care) feminis harus menggantikan etika keadilan(ethics of justice) maskulin.
Akar feminisme psikoanalisis : Sigmund Freud
Para feminis yang mengambil sudut pandang ini, melihat adanya kecocokan dengan teori yang dikemukakan oleh Freud. Dalam teori Freud sendiri ada beberapa tahapan perkembangan psikoseksual masa kanak-kanak :
Tahap oral : Pada masa ini bayi mendapatkan kenikmatan dengan menghisap payudara ibunya dan ibu jarinya sendiri atau memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya. Masa ini berlangsung sampai dengan umur 2 tahun. Tahap anal : Tahap di mana anak merasakan kenikmatan ketika mengendalikan pengeluaran kotoran dari lubang pengeluarannya, baik alat kelamin maupun anusnya. Tahap phallis : Berlangsung antara umur 3-5 tahun. Anak mulai merasakan kenikmatan kala mempermainkan atau mendapatkan sentuhan pada alat kelaminnya. Laki-laki pada penis dan perempuan pada klitorisnya.
Pada tahapan ini terjadi juga apa yang disebut Freud sebagai kompleks Oedipus. Kompleks Oedipus merupakan proses permusuhan terhadap orangtua sejenis. Secara gamblang, si anak akan memusuhi orangtua sejenisnya untuk mendapatkan cinta dan perhatian dari orangtua lawan jenisnya.
            Kritik Feminis Standar terhadap Freud
karena kecemburuan terhadap penis, srta gagasan yang berhubungan dengan itu, gagasan yang berhubungan dengan perempuan. Betty Friedan, Shulamit Fristone, dan Kate Millet berpendapat bahwasanya posisi dan ketidak berdayaan perempuan terhadap laki-laki kecil hubungannya dengan biologi perempuan, dan sangat berhubungan erat dengan konstruksi sosial atas feminitas.
Menurut Betty Friedan, gagasan Freud dibentuk olehkebudayaan yang digambarkan sebagai “Victorian”. Hal yang paling mengganggu Freudan tentang Freud adalah apa yang dianggap sebagai gagasan Freud atas determinisme biologis . dalam hal ini Freud beranggapan bahwasanya peran reproduski, identitas gender dan kecenderungan seksual perempuan di tentukan oleh ketidak adanya penis. Selain itu Freudan juga menolak apa yang dianggapnya sebagai “pengajekan” Freud atas seks. Hal ini mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa ketidaknyamanan serta ketidak puasan perempuan berasal dari ketikadanya penis saja, dan bukan setatus sosial ekonomi serta budaya yang di untungkan oleh laki-laki, Freud mengarahkan perempuan untuk percaya secara salah bahwa perempuan telah cacat. Selain itu Freud juga mengansumsiukan bahwasanya perempuan dapat menganti penis dengan bayi, oleh karena itu Freudian menyalahkan Freud yang telah menjadikan pengalaman seksua secara spesifik. Secara khusus dia mengutuk Freud karena telah mendorong perempuan untuk menjadi reseptif, pasif, bergantung pada orang, dan selalu siap untuk mencapai apa yang seharusnya menjadi tujuan ahir dari kehidupan seksual mereka :kehamilan.
  Mencari Psikoanalisis dalam arah feminis
Psikoanalisis menyimpulkan bahwa freud dan pengikutnya Helena Deu dan Erik Erikson memberikan konstribusinya terhadap perempuan. Namun mereka juga percaya bahwasanya teks Freudian dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan feminis dan bukan tujuan feminis. Asalkan feminisme mereinterpretasi teks-teks ini dengan menolak doktrin determinisme biologis, dengan menekan pada tahapan pra-odipal sebagai kebalikan tahapan perkembangan seksual manusia, atau dengan menceritakan kisah Oedipal dengan suara yang non patriarkal.
Menolak Determinisme Biologis Freud
Psikoanalisis feminis awal seperti Alfred Adler, Karen Horney dan Clara Thomson telah merasa yakin bahwa identitas gender, perilaku gender merupakan hasil dari fakta biologis. Sebaliknya kesemua itu merupakan hasil dari nilai-nilai sosial. Dengan menegaskan bahwasanya sifat perempuan bukanlah takdirnya bahwa kekurangan akan penis menjadi penting hanya karena masyarakat lebih cenderung mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Ketiga teoris ini mempunyai pandangan masing-masing mengenai perempaun.
Ø  Alfred Adler
Menurut Adler, laki-laki dan perempuan itu sama dan dilahirkan tanpa adanya kemampuan. Dan pengalaman hidup manusia yang mengajarkan untuk mencapai “superioritas” hal ini tidak memandang orang itu laki-laki maupun perempuan. Bentuk biologis seseorang tidak secaralogis atau dapat dihindari, mengarah pada sifat psikolog tertentu. Sebaliknya menurut Adler, manusia mempunyai”Diri kreatif” yang sejumlah makna yang mungkin terhadap takdir. Menurut Adler takdir kita adalah semata-mata material yang digunakan untuk membentuk Diri unik kita. Dengan memprtimbangkan asumsi filosofis mengenai kelenturan manusia, Adler dapat memberikan interesentasi yang nondetermistik menderita rasa inferioritas. Intinya adler berpendapat bahwa semua manusia baik itu laki-laki ataupun perempuan mempunyai kemampuan yang kreatif serta harat untuk memberdayakan dirinya melalui fikiran ataupun tindakan.
Ø  Karen Horney
Horney juga sependapat dengan Adler, bahwasanya lingkungan juga mempengaruhi perkembangan seseorang sebagai manusia. Horney adalah salah satu mahasiswa ilmu kedokteran di Berlin, dia mengalami bagaimana perempuan dibatasi kreatif prempuan. Ia mengkleim bahwa persaan inferior perempuan bukanlah berasal dari kesadaran perempuan akan kastrasinya, melainkan dari kesadaran akan subordinasi sosialnya. Horney mengakui bahwasanya perempuan tidak memiliki kekutan atau kekuasaan yang dipersentasikan oleh penis, ia menolak bahwasanya “perempuan biasa saja” secara radikal cacat, hanya karna perempuan tidak memiliki penis. Sebaliknya ia berargumen bahwasanya perempuan dipaksa untuk menjadi feminin dan mencoba meyakinkan bahwa perempuan menyukai sifat femuinin. Apabila ada seorang perempuan yang mengingikan sifat maskulin dianggap ”sakit” yang menderita “kompleks maskulin” yang melarikan diri dari keperempuan”penggerak dan pengguncang” dalam masyarakat “sakit”. Namun sebaliknya dengan Horney  menggambarkan bahwasanya perempuan seperti itu sebagai manusia yang berjuang untuk mencapai keseimbangan di antara tiga penarik yang berbeda didalam karakternya: penarik yang tidak menonjolkan diri, penarik yang mendendam diri, dan penarik yang ekspansif. Merasa tidak puas dengan setatusnya yang merasa tidak berdaya dan hanya di belakang layar, perempuan yang memilih untuk melampaui”feminitas” adalah ia yang sedang menciptakan Diri edeal yang menciptakan sifat maskulin dan juga feminine. Dengan kata lain perempuan-perempuan yang  mengetahui bagaimana anggapan masyarakat terhadap dirinya yang bukan lagi biologi yang menjadikan perempuan dimasyarakat itu pada umumnya. Setelah perempuan menyadari bagaimana perempuan sudah setara dengan dirinya maka masyarakat hanya memiliki kekuatan yang sangat kecil.
Ø  Clara Thomson
Clara juga sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Adler dan juga Horney dalam memberikan gambaran perkembangan sebagai proses perkembangan yang menjauh dari fakta biologis seseorang, yang lebih mengarah pada proses pengasahan seseorang.
Thomson menjelaskan bahwa pasivitas perempuan sebagai produk dari serangkaian hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak simentris dalam hal kepatuhan konstan kepada otoritas laki-laki menyebabkan perempuan mempunyai ego yang lemah daripada laki-laki. Identitas yang demikian bukan berasal dari perempuan itu sendiri melainkan dari lingkungan masyarakat. Selain itu Thomson juga percaya kebencian terhadap diri sendiri bukanlah fakta dari biologis melainkan dari interpentasi kebudayaan terhadap fakta biologis itu. Oleh sebab itu, perubahan setruktur hukum sosial, politik, ekonomi adalah penting sebagai tranformasi psikologi perempuan.
Dalam proses mereinterpretasi pengamatan Freud, Adler, Horney dan Thomson melampaui”Guru-nya” pertama-tama mereka berbicara mengenai bias maskulin dan domonasi laki-laki kemudian menawarkan analisis politis dan psikoanalisis atas situasi perempuan, sesuatu yang tidak di sentuh oleh Freud. Kedua, mereka menawarkan teori uniter mengenai perkembangan manusia yang tidak memandang laki-laki dalam dua jalur perkembangan yang terpisah dan   untuk menuju tujuan perkembangan yang juga terpisah. Sebaliknya Adler, Horney, dan Thompson bersikeras bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan menginginkan hal yang sama, kesempatan untuk membentuk takdirnya secara kreatif dan aktif. Ketiga psikoanalisis ini mengklaim diri sebagai identitas yang berkembang secara unik dan berada pada setiap manusia. Bagi Adler, Horney, dan Thompson tidak ada dari satu laki-laki yang secara universal normal, sehat, dan alamiah bagi semua laki-laki, serta diri perempuan yang secara universal sehat, normal dan alamiah bagi semua perempuan yang lebih tepat adalah bahwa jumlah diri manusia adalah sama dengan jumlah manusia individual.
Argumentasi Feminis yang Mendukung dan Menentang Pengasuhan Ganda
Feminis psikoanalisis Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow berpendapat bahwa dengan tidak terlalu memfokuskan kepada tahapan Oedipal, dan lebih kepada tahapan pra-Oedipal dari perkembangan seksual, keduanya dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja masyarakat patriarkalmengkonstruksi seksualitas dan gender yang menciptakan dan memelihara dominasi laki-laki. Menurut Dinnerstein dan Chodorow jika saja laki-laki melakukan fungsi mothering sebanyak perempuan, anak laki-laki dan perempuan akan tumbuh dengan kesadaran bahwa baik ayah maupun ibu mempunyai kelemahan dan ketahanan yang baik itu laki-laki maupun perempuan, tidak seharusnya dipermasalahkan atas kondisi manusiawinya.
Dorothy Dinnerstein: The mermaid and The Minotaur.
Menurut pendapat Dinnerstein, pengaturan gender derstruktif adalah hasil langsung dari peran perempuan dalam pengasuhan anak dan kecenderungan sosial yang mengikutinya untuk menyalhkan perempuan atas segala sesuatu yang salah mengenai diri kita sendiri terutama pada dirikita sendiri yang memiliki keterbatasan yang ditakdirkan untuk melakukan kesalahan, membusuk dan mati.
Pertama pengasuhan ganda menurut Dinnerstein akan memungkinkan kita untuk berhenti memproyeksikan semua ambivalensi kita mengenai karnalitas dan moralitas kepada satu orang tua perempuan. Karena kedua orang tua akan terlibat dalam proses pengasuhan sejak kelahiran bayi, kita tidak akan lagi menghubungkan keterbatasan ragawi kita terhadap orangtua yang perempuan saja. Kedua pengasuhan ganda akan memungkinkan kita mengatasi ambivalensi kita tentang pertumbuhan. Kita tetap bersikap kekanak-kanakan karena kita memandang kehidupan seolah-olah itu adalah drama yang memberikan perempuan satu peran tertentu dan laki-laki mempunyai peran yang lain. Ketiga pengasuhan ganda juga akan membantu kita untuk mengatasi ambivalensi kita terhadap eksistensi manusia yang terpisah. Karena kita cenderung untuk memandang orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan untuk membuat kita merasa lebih baik.
Akhirnya Dinnerstein percaya bahwa pengasuhan ganda akan membantu kita mengatasi ambivalensi kita terhadap usaha-usaha publik. Semua laki-laki cenderung menjadikan pembangunan dunia sebagai pertahanan melawan kematian.
NANCY CHODOROW: The Reproduction of Mothering.
Disini Nancy Chodorow mempertanyakan kenapa setiap perempuan ingin menjadi seorang ibu,bahkan ketika dia tidak menjadi ibu. Dengan menolak gagasan Freud bahwa bagi perempuan bayi adalah pengganti penis, sehingga Ia memutuskan untuk mencari tau atas jawabanya melalui analisa tahapan perkembangan psikoseksual pra-oedipal dan bukan dari tahapan oedipal.  Jika saja anak laki-laki dan perempuan di besarkan bersama mampu menyatu dan memisahkan diri maupun menghargai hubungan dengan liyan, dan mempunyai kebanggaan atas otonomi mereka. Jika saja anak laki-laki dan perempuan di besarkan oleh kedua orangtuanya perlu menyeimbangkan kepentingan orang lain. Sehingga anak tidak akan memandang rumah sebagai ranah perempuan dan publik sebagai ranah laki-laki dan mereka akan menyadari bahwasanya manusia harus menghabiskan waktunya di luar untuk bekerja dan sisa waktunya untuk keluarga.
Perbandingan dan Perbedaan antara Dinnerstein dan Chodorow
Perbedaan dengan keduanya merupakan perbedaan penekakan daripada subtansinya. Dennerstein lebih merupakan perbedaan penekanan daripada subtansisnya. Dia memfokuskan pada ketidak mampuan laki-laki dan perempuan untuk mengatasi rasa ketidak mampuan di masa dewasa, sebagaimana yang disarankan ketika masa mereka bayi, yang hidupnya tergantung pada perempuan yang berubah-ubah pada ibunya,Chodorow  menekankan kebutuhan pada kebutuhan di luar kesadaran laki-laki dan perempuan untuk mereproduksi pengalaman simbiosis dengan ibunya pada masa dia masih bayi dan menghadirkanya pada masadia sudah dewasa. Dia memandang hubungan ibu dan anak pada dasarnya adalah patilogis, sementara chodorow memandang hubungan itu secara fundamental sehat.
Alih-alih perbedaannya, baik Dinnerstein maupun Chodorow sama-sama menegaskan bahwa pengasuhan ganda adalah penyelesaian maslah yang berhubungan dengan pengasuhan oleh perempuan. Mothering harus menjadi parenting(menjadi orangtua) jika perempuan tidak ingin lagi dipermasalahkan atas bayi yang merengek dan laki-laki yang pemarah.
Kritik terhadap Dinnerstein, Chodorow dan Pengasuhan Ganda.
Kritikus menyalahkan Denerstein dan Chodorow atas tiga alasan. Pertama, mereka mengeluhkan bahwa kedua teoritis tersebut menekankan bahwa akar poenyebab oprasi terhadap perempuan lebih bersifat psikologi daripada sosial. Kedua, para kritikus keberatan terhadap apa yang mereka anggap nsebagai kegagalanDinnerstein dan Chodorow untuk menghargai berbagai bentuk keluarga, baik antara kbudayaan maupun di dalam suatu kebudayaan. Ketiga, para kritikus keberatan akan perpecahan, yang blebih disukai oleh Chodorow dan Dinnerstein atas opsesi terhadap perempuan yaitu dengan menciptakan dan memertahankan sistem pengasuhan ganda.
Menuju Reinterpretasi Feminis dari Kompleks Oedipus : Juliet Mitchell : Psychoanalysis and Feminis Dalam pemahaman Mitchell, teori freud bukanlah semata-mata ajaran dangkal “Biologi adalah takdir”.”sebaliknya, teori Freud adalah teori yang menunjukan bagaimana mahluk sosial muncul dari mahluk biologis. Meskipun Freud mempelajari perkembangan psikoseksual diantara kelompok orang manapun.
Ketika Mitchell sependapat dengan Freud bahwa situasi Oedipal adalah Universal, ia berpendapat bahwa tanpa pelarangan terhadap inses manusia adalah suatu ketidak mungkinan. Seperti halnya yang di jelaskan oleh  Levi-Strauss, tabu inses adalah penggerak yang melarang hubungan seksual dalam keluaga, memaksa manusia untuk membentuk organisasi sosial yang lebih besar dari yang lain. Namun tidak sekedar pelarangan terhadap hubungan seksual dalam keluarga tidaklah cukup, menurut Mitchell, hukum bagi prtukaran perempuan berpangkal dari ketidaksadaran yang dalam, yang muncul secara menyakitkan selama menyelesaikan kompleks odipus pada setiap orang.
Feminisme Gender
Seperti halnya dengan feminisme psikoanalisis yang tertarik pada perbedaan yang membedakan psike perempuan dari psike laki-laki. Msekipun demikian, tidak seperti halnya dengan femimis psikoanalisis, feminis gender tidak membahas maslah perkembangan anak. Menurut feminis gender, anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi anak laki-laki dan anak perempuan dewasa dengan nilai serta kebaikan gender yang khas dan merefleksikan kepentingannya keterpisahanpada kehidupan laki-laki dan pentingnya ketertarikan hidup terhadap perempuan dan berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Carol Gilligan : Ina Different Voice
Menurut pendapatnya penekanan laki-laki terhadap pemisahan dan otonomi mengarahkan mereka untuk mengembangkan suatu gaya penalaran moral. Sebaliknya penekanan pada perempuan mengaerahkan mereka pada perkembangan moral. Namun dari sekelompok orang berpendapat bahwasanya gaya moral perempuan tidak lebih valid daripada gaya moral laki-laki.  

Gilligan menngacu kepada mantan mentornya sendiri, Lawrence Kohlberg dari Havard, untuk menunjukkan kritiknya secara khusus. Menurut Kohlberg, perkembangan moral terdiri dari enam tahapan, yaitu. Tahap satu adalah “orientasi hukuman dan kepatuhan” untuk menghindari “tongkat” hukuman dan / atau menerima hadiah. Seorang anak akan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Tahap kedua “orientasi relativis instrumental”. “Berdasarkan prinsip resiprositas”. Tahap ketiga kesesuaian interpersonal atau orientasi anak laki-laki yang baik dan anak perempuan yang manis. Tahap keempat orientasi hukuman dan tatanan. Tahap kelima orientasi legalistik social kontrak. Tahap keenam orientasi prinsip etis universal.
Gilligan mengabaikan skala enam tahap Kohlberg bukan karena ia menganggap skala itu sama sekali tidak mempunyai kebaikan, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa anak perempuan dan perempuan dewasa yang dites dengan menggunakan skala ini jarang yang dapat melampaui tahap ketiga. Karena ditakutkan mereka memahami bahwa perempuan tidak memiliki moral seperti laki-laki.
Gilligan melakukan suatu studi empiris dari 29 perempuan hamil. Setiap perempuan ini berada dalam proses untuk memutuskan apakah mereka akan melakukan aborsi ataupun tidak. Ia mewawancarai mereka selama pengambilan keputusan, dan beberapa waktu setelah mereka mengambil keputusan. Gilligan akhirnya menyimpulkan bahwa berapa pun umur mereka, apapun kelas social, status perkawinan, atau latar belakang etnik, setiap perempuan ini memanifestasi suatu cara berfikir tentang masalah moral yang sangat berbeda dengan cara fikir laki-laki.
Nel Noddings : Kepedulian dan Perempuan dan Kejahatan
Seperti Gilligan, feminis gender Nel Noddings mengklaim bahwa perempuan dan laki-laki berbicara dalam bahasa moral yang berbeda, dan kebudayaan kita lebih menguntungkan etika keadilan yang maskulin daripada etika kepedulian yang feminim. Etika, tegas NOddings adalah mengenai hubungan tertentu, yang dalam hal ini “hubungan” bermakna “suatu rangkaian pasangan yang teratur yang berasal dari aturan tertentu yang menggambarkan pengaruh atau pengalaman subyektif dari anggota-anggotanya.
Tidak seperti Gilligan, Noddings secara tidak ambivalen mengklaim bahwa suatu etika kepedulian bukan saja beda melainkan lebih baik daripada etika keadilan. Menurut pendapatnya kita harus menolak segala aturan dan prinsip-prinsip sebagai penuntun utama terhadap perilaku etis, dan juga segala gagasan yang mengikutinya atas universalibilitas.
Kritik terhadap Etika Kepedulian Gilligan dan Noddings
Gilligan menyatakan bahwa bukanlah maksudnya untuk membuat generalisasi berdasarkan jenis kelamin yang bermakna, misalnya semua laki-laki yang menganut etika keadilan, serta semua perempuan yang menganut etika kepedulian. Sedangkan laki-laki jika Gilligan melakukan generalisasi berdasarkan jenis kelamin para kritikus mencatat bahwa laki-laki berfokus pada hak, klaim, tuntutan kepentingan sendiri, tugas yang ketat, kewajiban, dan beban. Sedangkan perempuan berfokus pada tanggung jawabdan pentingnya memberikan tanggapan empatis terhadap orang lain, seperti merawat dan memberikan bantuan.
Perdebatan pertama berfokus pada metodologi yang diaplikasikan oleh Gilligan, mereka mengklaim bahwa perempuan dalam kajian aborsi Gilligan datang dari beragam latar belakang. Perdebatan kedua dipicu oleh karya Gilligan yang berpusat pada konsekuensi negative dari pengasosiasian perempuan dengan etika kepedulian. Menghubungkan perempuan dengan etika kepedulian adalah mempromosikan pandangan bahwa perempuan secara alamiah memang peduli atau perawat.
Contoh kepedulian perempuan terhadap laki-laki merupakan suatu gerakan merendahkan diri kolektif yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki, suatu penegasan atas pentingnya laki-laki yang tidak membalas dengan sikap yang sama terhadap perempuan.
Untuk alasan-alasan yang berhubungan dengan kekhawatiran umum Bartky mengenai semua etika kepedulian yang manapun, filsuf Bill puka melakukan kritik yang spesifik terhadap etika kepedulian Gilligan. Ia mengklaim bahwa kepedulian dapat diinterpretasi dengan dua cara : 1. Dengan cara Gilligan, “suatu orientasi umum terhadap perkembangan moral” ; atau 2. dengan cara Puka, “sebagai suatu orientasi pelayanan yang seksis yang domain terutama dalam sosialisasi, konvensi social, serta patriarkal di banyak kebudayaan. Mereka menginterpretasi kepedulian seperti Gilligan akan menelusuri perkembangan moral perempuan melalui tiga tingkatan yang telah disajikan lebih awal dalam bab ini. Sebaliknya, mereka yang menginterpretasi kepedulian dengan cara Puka akan memandang apa yang seharusnya merupakan tingkatan perkembangan moral. Pertama-tama ia menginterpretasi ulang penalaran moral tingkat Gilligan,yang berorientasi pada diri sendiri sebagai strategi perlindungan diri dan kepentingan diri yang digunakan oleh perempuan. Kedua, Puka mereinterpretasi penalaran moral tingkat dua Gilligan yag diarahkan kepada yang lain sebagai suatu kelanjutan dari “pendekatan perbudakan konvensional”, yang secara tipikal diadopsi perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Akhirnya Puka menginterpretasi ulang penalaran moral diri dan liyan sebagai suatu mekanisme mengatasi masalah yang melibatkan baik elemen perlindungan diri dan perbudakan: “pada tingkat ini seseorang perempuan belajar untuk mengetahui kapan ia menunjukkan kekuatannya, dan dimana ia sebaiknya tunduk pada struktur.
Meskipun beberapa kritik yang diarahkan kepada Noddings menggemakan kritik yang diarahkan pada Gilligan seperti yang ditawarkan oleh Sarah Lucia Hoagland, sangatlah berbeda. Dia mengkalim bahwa Nodding telah melakukan kesalahan dalam melakukan pendekatan terhadap suatu hubungan secara fundamental tidak sejajar, seperti halnya hubungan anak dan ibu. Ketiga Hoagland mempertanyakan pandangan Noddings bahwa ketidaksetaraan dalam kemampuan membuat suatu hubungan tidak setara. Sebaliknya ia mengklaim bahwa ketidak setaraan dalam kekuasaan membuat satu hubungan tidak setara.
Hoagland menyalahkan Noddings karena telah mengimplikasikan bahwa pemberi kepedulian yang paling baik tidak pernah berhenti mempedulikan, apapun harga yang harus dibayarnya. Hoagland juga memperingatkan bahwa ada yang lebih penting daripada kehidupan moral daripada sekedar anggapan terhadap kebutuhan dan keinginan yang lain. Ia beranggapan bahwa secara moral Noddings juga salah ketika ia mengimplikasikan paradigma bagi seorang istri yang mengalami kekerasan untuk meninggalkan suaminya dan bahkan membunuh suaminya.

1 komentar:

  1. Isi tulisan Anda cukup padat dan informatif, ada beberapa kekurangtelitian yang terbaca, misalnya penulisan istilah asing, penggunaan tanda baca dan spasi yang kurang. Baik juga dipertimbangan pemilihan warna agar pembaca lebih nyaman membaca, serta pengaturan paragraf. Nilai 85.

    BalasHapus