Senin, 18 April 2016

Analisis Wawancara Terhadap Perempuan Inferior, Laki-laki Superior dan Perempuan Maskulin



A.     Hasil Wawancara Perempuan Inferior Dan Laki-Laki Superior
Beberapa hari yang lalu saya melakukan wawancara pada  seorang perempuan yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya, bisa dikatakan juga masih tetangga. Yaitu  didesa Kerajan, kita bisa memangilnya mbak Dina (bukan nama asli), dia adalah seorang perempuan yang polos, tidak suka neko-neko dan juga baik, sewaktu muda mbak Dina sudah ditinggal ayahnya, ayahnya meninggal dunia saat mbak Dina masih sekitar umur 21 semenjak itu mbak Dina sebagai tulang punggung keluarganya, karena mbak Dina anak tunggal dan ibunya sudah tidak mampu bekerja berat karena ibunya terkena sakit gula (kencing manis) dan itu mengahruskan mbak Dina bekerja, dan mbak Dina kerja di slahsatu pabrik di Ngunut kata ibunya, selain itu saya juga bertanya tentang hal ini pada tetangga sekitar yang kebetulan saya juga kenal, beliaupun juga memberi jawban yang sama pula dengan apa yang dikatakan ibunya mbak Dina bahwasanya mbak Dina adalah perempuan yang baik dan tidak suka neko-neko bisa dikatakan dia adalah perempuan rumahan sejak remaja.
Pada tahun 2005 mbak dina menikah dengan seorang laki-laki yang tidak jauh dari rumahnya namun beda desa, pada saat itu tidak ada keluarga yang mengetahui jika mbak Dina telah merajut kasih dengan peria itu, pada ahirnya ahir tahun 2005 mbak Dina menikah dan tahun 2007 mbak Dina melahirkan seorang putra pertamanya. Dari sinilah mbak Dina mulai merasakan keanehan, karena suaminya mulai main tangan dan juga kata-kata yang tidak seharusnya di ucapkan oleh suami  kepada istrinya.
Hampir setiap hari mbak Dina mendapat pukulan dari suaminya, meskipun mbak Dina tidak melakukan kesalahan. Jika anaknya jatuh atau dimarahi oleh mbak Dina maka suaminya juga tidak segan-segan untuk memukulnya, meskipun disitu banyak orang. Banyak sodara dan juga ibunya untuk menyudahi pernikahannya karena tidak tega melihat mbak Dina yang selalu disiksa oleh suaminya, namun mbak Dina tidak mau dan tetap bertahan, alasannya karena demi anak yang masih kecil sehingga. Pada satu hari mbak Dina mendapati suaminya sedang berada di kafe bersama teman-temannya yang berpesta minuman keras dan juga obat-obatan terlarang, mbak Dina pun menyuruh suaminya untuk pulang, saat itu suaminya juga pulang dan smapai dirumah mbak Dina langsung di pukul pas bagian plipis kanannya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, setelah puas memukuli mbak Dina, suaminya langsung pergi dan pulang-pulang malam.
Sejak kejadian itulah mbak Dina menjadi sosok yang pendiam dan juga tidak pernah keluar rumah kata ibunya, sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mbak Dina di rumah juga bekerja sebagai buruh pembuat keset dari kain perca karena suaminya tidak lagi mau bekerja dan hanya dirumah jika pagi hanya minum kopi minta sarapan sambil menghidupkan musik yang sangat keras, jika sore sampai malam suaminya akan pergi dan tidak pernah ketinggalan pergi ke kafe bersama teman-temannya sampai larut malam bahkan sampai pagi, kata mbak Dina.
Namun mbak Dina juga hanya diam tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk menegur kelakuan suaminya yang demikian, pada satu hari mbak Dina merasa sudah tidak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit yang dialaminya, yang setiap hari hanya mendapat siksaan. Mbak Dina melarikan diri dari rumah dan ingin menjadi TKW di Hongkong pada waktu itu (didesa tempat saya tinggal banyak perempuan yang menjadi TKW), hampir satu minggu mbak Dina tidak pulang kerumah dan pergi kerumah teman yang suaminya tidak tau. Dari situlah suaminya semakin menjadi dan mencari kerumah-rumah sodaranya sambil mengatakan hal-hal yang tidak pantas, kata mbak Dina. Ahirnya mbak Dina pulang dengan meminta beberapa persaratan pada suaminya, dan dipenuhilah oleh suaminya. Dari sini mereka hidup rukun kembali, namun hanya beberapa waktu saja dan kembali ke sifat aslinya yang tidak mau kalah dan mengalah. Akan tetapi jika suaminya mbak Dina meminta haknya mbak Dina tetap memenuhinya.
Tegasnya, sebagai istri yang taat pada suami karena surganya dibawa oleh sang suami untuk saat ini, jadi meskipun bagaimana pun mbak Dina juga harus memenuhinya, ahirnya mbak Dina hamil anak yang ke 2. Hal ini tidaklah sama dengan apa yang sudah dituliskan oleh feminisme radikal (pembebasan perempuan) yang menulis, tubuh perempuan merupakan obyek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan selksual adalah bentuk dasar penindasan. Oleh karena itu feminisme radikal mempermalahkan tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitsa, relasi kekuasa perempuan dan laki-laki dan otonomi privat publik. Namun dalam hal ini belum juga ada perlawanan dari mbak Dina yang secara terang dia mengetahui bahwa itu hal yang salah dan harus disudahi. Apa mungkin kurangnya kesadaran pada masyarakat dan juga si perempuan yang tidak tahu bahwasanya dia sedang di tindas. Sepertihalnya yang dijelaskan dalam feminis psikoanalisis dan gender, yang percaya bahwasanya penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara berfikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud, seperti tahap oedipal dan kompleks Oedipus, mereka mengkleim bahwasanya ketidak setaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa anak-anak awal mereka, yang bukan saja cara laki-laki memandang dirinya sebagi maskulin dan perempuan dengan feminine, melainkan juga cara pandang masyarakat bahwasanya maskulin lebih baik daripada feminin.
 Diawal kehamilan, suami mbak Dina mengajaknya untuk membuat rumah sendiri dan tidak tinggal dengan mertua, itupun yang mendanai adalah orang tua dari suami mbak Dina, kata mbak Dina mertuanya menjual sebagian tanahnya  untuk memodalinya membuat rumah. Maklum, suami dari mbak Dina adalah keluarga yang mampu dan memiliki tanah yang kucup banyak didesa tempat tinggalnya, sedangkan mbak Dina dari keluarga yang bisa dikatakan tidak mampu.  Dan hanya mengandalkan uang dari buruh tani, dulu saat orang tua dari mbak Dina  masih sehat, sampai ayahnya mbk Dina meninggal dan ibunya tidak bisa lagi kerja. Dari sini saya teringat teori feminisme Radikal yang memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme, asumsinya sumber penindasan perempuan berasaldari eksploitasi kelas dan cara produksi. Setatus peremuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (privat property) kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran(exchange).
Karena, dulunya mbak Dina hanya menafkahi ibunya saja tapi sekarang harus menafkahi ibu, anak dan juga suaminya. Dan harta dari suaminya dipegang oleh orang tuanya dan orangtuanya pun tidak pernah menasehati anaknya untuk menjadi suami yang selayaknya, suami bagi istri dan ayah bagi anaknya, tegas mbak Dina. Namun hal ini tidak selesai sampai disini saja, saat proses pembangunan rumah mbak Dina sedang hamil tua dan dia juga disuruh bantu angkat-angkat semen yang sudah dicampur dengan pasir. Ya namanya ibu hamil tua pasti gampang capek, dan saat itu mbak Dina sedang duduk di teras rumah yang setengah jadi itu. Mbak Dina kaget setelah suami nya datang dan mengguyurkan semen dan juga pasir yang dibawanya kejadian itu yang membuat mbak Dina pulang kerumah orang tuanya dan tidak lagi mau tinggal di rumah mertuanya, karena sejak proses pembangunan rumahnya mbak Dina diboyong suaminya ke rumah orang tuanya. Saat anaknya sudah umur 2 tahun, mbak Dina  memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, namun sebelumnya mbak Dina sempat melarikan diri dan bekerja menjadi pembantu rumah tangga dan pabrik bawang goreng di Tulungagung kota sampai saat ini. Meskipun mbak Dina sudah memutuskan untuk bercerai dan sudah di jelaskan pada keluarga sang suami namun suami mbak Dina tetap tidak mau pisah dengan alasan akan berubah, namun selama hampir 2 tahun tetap juga tidak ada perubahan dan tidak mau bercerai.
Mbak Dina juga menjelaskan jika suaminya pernah mengancam jika mbak Dina menikah lagi dan suaminya tau jika mbak Dina bersama laki-laki lain maka suaminya tidak segan-segan akan membunuh laki-laki yang sedang bersama mbak Dina, meskipun mereka sudah bercerai. Karena suaminya mengaggap bagaimanapun mbak Dina hanya miliknya tidak ada orang yang boleh memegang atau bahkan memilikinya, tegas dari mbak Dina kenapa suaminya bisa melakukan hal ini karena sejak masih pacaran mbak Dina selalu berkata “iya” pada semua yang dikatan suaminya, karena mbak Dina merasa takut kehilangan orang yang disayangi terlebih suaminya dari keluarga yang berada, sehingga keluarga besar dan suaminya merasa berkuasa akan dirinya dan ibunya. Sampai saat ini pun keinginan bercerai pada suaminya tidak juga terlaksana karena suaminya beri kukuh tidak mau bercerai. Sama halnya yang dikatakan French, bahwa opresi laki-laki terhadap perempuan secara logika mengarahkan pada sistem lain bentuk dominasi manusia. Karena French percaya bahwa seksisme adalah modeldari isme-isme lain, termasuk rasisme dan kelasisme, ia juga berusaha menjelaskan ideologi “power over”(berkuasa atas)yang menopangnya, dan ideologi”pleasure with”(kenikmatan dengan)yang membebaskan dan dapat membongkar ideologi pengasuhan itu.
Dari sini saya melihat bahwasanya, perempaun masih takut dengan peran laki-laki. Laki-laki yang terus-terusan menindas dan juga menang sendiri, tidak mau melihat penderitaan perempuan. Lagi-lagi kelas yang nentukan kekuasaan seseorang. Dan menuntut perempuan harus tunduk dengan laki-laki, karena menurut saya laki-laki juga harus menyadari bahwasanya perempuan tidak ditakdirkan menjadi seseorang yang pasif, dan laki-laki ditakdirkan menjadi seseorang yang aktif, dan dapat menguasai perempuan dalam segala hal.  Dalam feminisme Pesikoanalisis juga dijelaskan bahwasanya dalam masyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan juga feminitas akan dikonstruksi secara beda dan dihargai secara setara, feminis psikoanalisis merekomendasikan bahwa kita harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, yang di dalam masyarakat ini manusia yang seutuhnya merupakan campuran sifat-sifat positif femini dan maskulin.

B.     Hasil Wawancara Perempuan Bersifat Maskulin
Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan definisi perempuan tomboy, diantara teman-teman kita mungkin ada beberapa yang mempunyai karakter itu. Saya beberapa hari yang lalu membuat janji dengan teman saya sewaktu MTs, dia adalah teman satu kelas saya panggil saja dia Sofie(bukan nama asli), sebenarnya definisi tomboy mengacu pada tingkah laku anak yang dikaitkan dengan jenis kelamin. Perilaku tomboy ini dianggap kategori normal atau wajar untuk anak usia balita yang sedang pada tahap suka meniru perilaku orang lain. Meskipun begitu banyak orang tua yang mengkhawatirkan perilaku tomboy yang ditunjukkan oleh buah hatinya, karena takutnya perilaku tomboy ini akan terbawa hingga anak dewasa, namun ada juga sifat ini muncul setelah dewasa. Bahwasanya perlu bagi orang tua untuk memperhatikan pola asuh anak saat masih kecil. Tapi tidak dengan teman saya ini, teman saya ini mengaku jika dia sejak SD sudah suka dengan permainan ataupun penampilan yang identik dengan sifat maskulin, karena dia merasa jika dia seperti itu dia akan mersa kuat dan juga tidak ada orang yang berani dengannya.   
Mungkin karena sofie yang sudah lama ditinggal ayah nya merantau menjadi TKI di Singapur dan dirumah dia hanya bersama ibunya, dia merasa jika harus menjaga ibunya terlebih ibunya saat itu sedang hamil tua. Darisini sofie berfikir jika menjadi seorang perempuan dia akan selalu dianggap lemah, karena identiuk dengan sifat yang lemah lembut dan ahirnya dia memutuskan untuk berubah menjdi sosok yang maskulin dan mengikuti olahraga bela diri disekitar rumahnya. Karakter ini terbawa sampai dia masuk di MTs, pada saat sofie sudah kelas 3 MTs ayah nya pulang dari Singapur dan memutuskan untuk bekerja di rumah dan tidak kembali menjdai TKI di luar Nergi, dari sinilah Sofie merasa jika ibu dan juga adiknya sudah ada yang melindungi yaitu sosok ayah yang dulunya digantikan olehnya, tegas Sofie. kami lulus dari MTs dan sofie melanjutkan pendidikan ke SMK, masuk ke SMK pun itu karena dorongan dari orang tua nya dan mengambil jurusan perkantoran dari sinilah sofie merasa harus berubah dari segi penampilan. Karena disitu dia dituntut harus rapi. Yang awalnya tidak suka memakai rok dia harus memakai rok, jangankan rok memakai celana panjang saja dia tidak suka, dan dia masuk ke SMK yang tidak mengharuskan dia menggunakan jilbab karena dia tidak suka memakai jilbab sejak MTs. Namun setelah masuk SMK dia menjadi lebih feminin, yang suka merias wajah dan rambutnya menjadi panjang karena dulu dia tidak pernah mempunyai rambut panjang, meskipun hanya sebahu.
Saya memberi dia beberapa pertanyaan dan sedikit rasa heran kenapa dia sekarang menjadi sosok yang feminin, dia menjawab karena lingkungan dan kesadaran dirinya. Tegasnya, di sekolah dia diwajibkan menjadi sosok yang rapi dan juga feminin, bahkan setiap hari diwajibkan untuk membawa alat kecantikan, jika pulang sekolah atau jam istirahat maka di wajibkan untuk dandan/merapikan diri. Jika kesadaran dari dirinya sendri muncul saat dia melihat teman-temannya yang sudah pandai merawat dirinya dan tampil modis dengan sifat feminin nya, bisa dikatakan malu dengan lingkungan dan juga umur. Bahwasanya dia menyadari jika dia dilahirkan menjadi seorang perempuan yang mempunyai sifat feminin bukan menjadi seorang laki-laki. Namun sofie mengakui bahwasanya dia tetap mempertahankan sifat maskulinya dalam dirinya, dia menganggap sifat itu akan dibutuhkan pada situasi tertentu. Terlebih dia saat ini kuliah di luar kota yang mengahruskan dia bisa melindungi dirinya sendiri.
Saya bisa melihat perubahan itu dari beberapa foto yang ada dalam media sosialnya, yang dulu foto-fotonya yang lebih sering menggunakan kaos-kaos oblong yang identik dengan baju laki-laki, maklum dulunya dia juga aktif dalam olehraga beladiri di rumahnya, namun saat ini dia sudah tidak lagi ikut karena jarang pulang ke rumahnya, mungkin hanya berlatih berapa hari sekali di kostnya, tegas dari sofie. Sekarang sudah berubah dalam segala hal, baik cara bicara, cara dia berjalan, cara dia berpenampilan sofie lebih ke pakaian yang feminin, memakai hijab dan juga memakai rok panjang yang identik dengan peremuan feminin. Bisa dikatan juga bahwasanya sekarang ini dia mengikuti trand fasion sekarang ini.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Mery Daly dalam konsep androgini, Beyond God the Father yang mengatakan, ia menolak model androgini ”pluralis” yang didalam konsepnya memandang, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai sifat-sifat yang berbeda, tetapi seharusnya setara dan saling melengkapi. Dan juga model androgini ”asimilasi” yang memandang bahwa perempuan dan laki-laki harus menggabungkan baik sifat maskulin maupun feminin ke dalam diri mereka, untuk mencapai kemanusiaan yang penuh. Menurut pandangannya, kedua model androgin ini tidak memadai, karena maskulinitas ataupun feminitas adalah konsep yang tidak layak dipertahankan. Dely juga menegaskan bahwa sifat-sifat feminine yang positif seperti cinta, kelembutan, saling berbagi dan saling menjaga jaga, harus secara hati-hati dibedakan dari ekses patologisnya, yaitu jenis “nilai-nilai” feminin masokistik, yang sering kali dimaknai dengan salah. Misalnya, mencintai adalah baik, namun dalam patriariki mencintai, bagi perempuan dapat menjadi bentuk pengorbanan total atau martyrdom. Dely berpendapat bahwasanya konstuksi dari manusia androgin yang sejati, tidak dapat dan tidak harus dimulai, hingga perempuan mengatakan tidak pada nilai-nilai “moralitas korban”. Dari kata “tidak” ini akan muncul kata “ya” pada niali-nilai “ethics of personhood” etika kemanusiaan. Mulaui menolak menjadi Liyan, dengan menjadi diri dengan kebutuhan, keinginan dan minat sendiri, perempuan akan mengakhiri peremainian, yang menempatkan laki-lak menjadi tuan dan perempuan sebagai budak. 

Selasa, 05 April 2016

tugas metode etnografi



Nama                      :  Anita Widyasari
Nim                         :  2832133004
Dosen Pengampu    :  Akhol Firdaus, MPd
METODE ETNOGRAFI
BAB III
INFORMAN
Seorang Etnografer adalah pencari informasi tentang budaya dari seorang informan yang mempunyai pengetahuan umum dari kebudayaan itu.
Informan adalah seorang yang mendeskripsikan atau menceritakan secara berulang-ulang mengenai sebuah kebudayaan secara detail sehingga menghasilkan deskripsi kebudayaan yang sedang diteliti.
Biasanya etnografer pemula merasa jika berbicara dengan teman, kerabat atau dengan kawan di ruang lingkup perkuliahan itu lebih mudah, akan tetapi etnografer yang terampil dan pengalamannya sudah banyak mengatakan bahwasanya mencari narasumber dari ruang lingkup itu banyak timbul masalah atau kendala. Karena apa, teman atau kerabat kita saat mengobrol atau berbincang dengan mereka kita tidak menggunakan bahasa resmi ataupun bertanya dengan terus-menerus dan kadang orang yang kita beri pertanyaan itu merasa bahwasanya pertanyaan yang kita berikan itu tidak penting, tapi penting bagi seorang etnografer, dari situlah teman atau kerabat kita akan merasa jengkel dengan kita, sehingga kita tidak akan mendapat informasi yang jelas. Namun etnografer yang terampil biasanya akan mudah untuk bekerjasama dengan mereka, tetapi juga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan beberapa kesulitan tertentu.
KEKACAUAN DENGAN BEBERAPA PERAN ILMU SOSIAL
Selanjutnya kekacauan dengan beberapa peran ilmu sosial, ada beberapa peran yang berbeda dengan informan yang digunakan dalam ilmu sosial, yaitu :
Subjek
Penelitian ilmu sosial yang menggunakan subyek biasanya mempunyai tujuan tertentu yaitu menguji hipotesis. Subyek tidak mendefinisikan hal penting yang harus ditentukan oleh peneliti atau informan, subyek juga menguji beberapa hipotesis tertentu. Mungkin etnografer memulai penelitian dengan informan, tapi sebagai tugas etnografer itu sesuai. Informan menjadi subyek dan perubahan itu sulit diketahui oleh siapapun, dengan demikian etnografi dikacaukan dengan penelitian yang menguji hipotesis dan penelitian yang berorientasi pada masalah.
Responden
Responden adalah siapa saja yang menjawab beberapa daftar pertanyaan yang diajukan. Banyak orang menyamakan responden dengan informan, karena mereka tampak memberikan informasi dan menjawab pertanyaan mengenai kebudayaan mereka. Namun perbedaan penting antara kedua peran ini adalah bahasa yang digunakan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan survey. Responden hampir selalu menggunakan bahasa ilmuwan sosial sedangkan penelitian etnografis lebih pada bahasa yang digunakan informan.
Pelaku
Pelaku adalah seorang yang menjadi objek pengamatan dalam suatu seting alam.
BEBERAPA PRINSIP ETIKA
Seorang etnografer harus mempunyai etika yang baik pada informan, karena segala sesuatu yang dikehendaki etnografer tidak selalu sama dengan apa yang diinginkan informan. Ada beberapa prinsip etika yang diambil dari The American Anthropological Associationyang bisa dijadikan pegangan oleh etnografer, yaitu.
1.      Mempertimbangkan informan terlebih dahulu. Etnografer tidak boleh mengasumsikan bahwa kepentingan informan sama dengan kepentingan orang lain.  
contoh : perempuan yang bekerja di Bar, mereka bekerja di tempat itu pastilah mempunyai tujuan tertentu, namun banyak orang yang memandang dengan sebelah mata. Dari sinilah eetnografer harus melindungi kepentinganpribadi informan.
2.      Mengamankan hak-hak kepentingan dan sensitivitas informan. Sebagai seorang etnografer mempunyai tanggung jawab pada informan baik melindungi hak, kepentingan mereka bahkan sensitivitas mereka. Karenanya, belum tentu seorang informan mengetahui semua hak yang seharusnya ia peroleh juga.
3.      Menyampaikan tujuan penelitian. Informan mempunyai hak untuk mengetahui tujuan etnografer dalam melakukan studi ini apa.
4.      Melindungi privasi informan. Informan berhakmendapat perlindungan privasi seperti halnya pergantian nama, tempat, dll. Selain itu etnografer mempunyai beberapa peralatan sebagai pengumpulan data baik dalam bentuk kamera, tape recorder, dll. Informan boleh untuk menolaknya apabila merasa tidak nyaman.
5.      Jangan mengeksploitasi informan. Setiap etnografer mempunyai tanggung jawab menilai secara cermat yang bisa menjadi “imbalan yang adil” bagi informan. Karena tidak semua informan suka dengan apa yang dilakukan etnografer, sehingga etnografer harus pandai dalam membaca situasi. Kadang kala ada informan yang mau diberi uang dan kadang adapula yang tidak menyukainya. Karena seorang informan kadang mendapat manfaat ecara langsung dari hasil penelitian tersebut.
6.      Memberikan laporan kepada informan.
Menyampaikan tujuan dari penelitian, dan untuk apa hasil dari penelitian tersebut. Digunakan untuk publik ataupun hanya untuk arsip saja.
Beberapa prinsip etika yang diberikan dengan singkat ini tidak mencakup masalah-maslah yang akan muncul ketika kita melakukan penelitian. Seorang Etnografer mempunyai tanggung jawab sebagai keilmuan.




Catatan :        Saat melakukan penelitian kita akan terjun langsung dalam masyarakat yang menjadi tujuan kita. Namun kita tidak dengan mudah diterima dalam masyarakat tersebut, sehingga kita perlu mengetahui apa saja yang di perbolehkan dan apa saja yang tidak, kode budayalah yang menjadi kunci dari seorang Etnografer. Kehadiran kita juga tidak boleh menjadi usikan buat merekan dan juga ancaman untuk seorang informan.



KOLONIALISME/PASCAKOLONIALISME
BAB III
MENENTANG KOLONIALISME
Pan-Nasionalisme
Pemikiran anti kolonial tidak selalu menyamakan gagasan suatu ingatan atau pengalaman kultural bersama dengan bangsa sebagai suatu keutuhan geografis atau politis yang tersendiri. Dalam negritude (kata yang diciptakan oleh Aime Cesaire), bangsa itu memiliki makna lain yaitu suatu kesadaran budaya dan subyektivitas serta esensi spiritual bersama yang melingkupi pembagian bangsasebagai keutuhan politis.
Bagi Jean-Paul Sartre, negritude adalah fase historis tertentu dari kesadaran hitam, “suatu tahap lemah dari suatu perjalanan dialektis” yang akan dilangkahi dalam kesadaran atas masyarakat manusia tanpa rasisme”. Namun bagi Leopold Senghor, yang dianggap oleh banyak orang sebagai filsuf, negritude yang terpenting. Maka negritude tidak menentang penegasan kolonial bahwa ras itu sekaligus menandakan sifat-sifat luar dan dalam, atau hubungannya antara ras dan budaya.
Negritude sendiri adalah suatu  posisi reaktif dan meski demikian mencoba menciptakan suatu identitas hitam yang bebas dari noda kolonialisme. Seperti Cesaire, Senghor menggambarkan suatu dikotomi antara Afrika dan Eropa. Cesaire menunjukan bahwa mereka memakai kata “Negre” sebagai kata perlawanan, sebagai suatu “penegasan keras”.
Fanon sangat kritis terhadap gerakan negritude ini. Dia menyebutkan literaturnya sebagai “suatu tulisan yang keras, bergema dan berkobar yang secara keseluruhan membesarkan hati kekuasaan penjajah. Untuk menghadapi ini Fanon mengusulkan suatu “literatur nasional”. Suatu literatur pertempuran yang diarahkan kepada rakyat dalam pembentukan kesadaran nasional dan bertekad kepada perjuangan kemerdekaan nasional.
Maka baik bangsa maupun satu esensi rasial pan-nasional itu merupakan konsepsi-konsepsi yang bersaing, yang bagaimanapun telah membantu menggerakkan kesadaran anti kolonial. Namun mungkin terdapat suatu cara alternatif untuk berfikir tentang solidaritas-solidaritas dan hubungan transnasional. Maka gagasan tentang “Atlantik hitam” memperlihatkan kepada kita kelemahan bangsa maupun ras sebagai penanda istimewanya identitas kultural.
Sejarah yang ditelusuri oleh buku Gilroy dan Fryer bahwa mereka mengingatkan kita bahwasanya terdapat pertukaran-pertukaran politis dan intelektual antara berbagai gerakan dan individu-individu anti kolonial dan bahkan yang paling berakar dan paling tradisional dari semua ini dibentuk oleh sejarah sinkretis sehingga dengan segala retorika yang dipakai berbagai partisipan “nasionalisme” bukanlah lawan langsung dari pan-nasionalisme, juga “hibriditas” bukan kebalikan langsung dari “otentisitas”.

feminisme Psikoanalisis dan Gender



Setelah beberapa pertemuan kita sudah mempelajari feminis libral, radikal dan juga marxis. Sekarang kita mempelajari bab selanjutnya yaitu feminisme psikoanalisis dan gender. Psikoanalisis dan gender berpendapat bahwasanya cara bertindak perempuan berakar pada pesik perempuan, terutama dalam cara berfikir perempuan. Berdasarkan konsep freud seperti tahapan odipal dan kompleks odipus, mereka mengklaim bahwa ketidak setaraan gender berakar pada rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka, yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin dan perempuan memandang dirinya feminin.  Melainkan juga cara pandang masyarakat bahwasanya maskulinitas lebih baik daripada feminitas. Berhipotesis dalam masyarakat nonpatriarkal, maskulinitas dan feminitas akan dikonstruksikan berbeda dan dihargai secara setara, pesikoanalisis berpandangan bahwa kita harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, masyarakat ini manusia yang seutuhnya merupaakan campuran dari sifat-sifat positif feminin dan juga maskulin.
Lainhalnya dengan feminis gender yang berpendapat bahwa mungkin memang ada perbedaan biologis antara feminitas dan juga maskulinitas. Mereka menekankan dalam nila-nilai tradisional yang dihubungkan dengan perempuan adalah kelembutan, kesederhanaan, rasa malu, sifat mendukung , empati, kepedulian, kehati-hatian, sifat merawat, intuisi, sensitivitas, dan ketidakegoisan hal ini menutut psikologis gender lebih baik daripada kelebihan nilai tradisional yang berhubungan dengan laki-laki, yaitu kekerasan hati, ambisi, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketahanan fisik, rasionalitas, dan kendali emosi. Olehkarena itu feminisme gender menyimpulkan bahwa perempuan harus berpegang teguh pada feminitasnya dan laki-laki harus melepas bentuk eksrim dan juga maskulinnya. Menurut mereka, suatu kepedulian(ethics of care) feminis harus menggantikan etika keadilan(ethics of justice) maskulin.
Akar feminisme psikoanalisis : Sigmund Freud
Para feminis yang mengambil sudut pandang ini, melihat adanya kecocokan dengan teori yang dikemukakan oleh Freud. Dalam teori Freud sendiri ada beberapa tahapan perkembangan psikoseksual masa kanak-kanak :
Tahap oral : Pada masa ini bayi mendapatkan kenikmatan dengan menghisap payudara ibunya dan ibu jarinya sendiri atau memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya. Masa ini berlangsung sampai dengan umur 2 tahun. Tahap anal : Tahap di mana anak merasakan kenikmatan ketika mengendalikan pengeluaran kotoran dari lubang pengeluarannya, baik alat kelamin maupun anusnya. Tahap phallis : Berlangsung antara umur 3-5 tahun. Anak mulai merasakan kenikmatan kala mempermainkan atau mendapatkan sentuhan pada alat kelaminnya. Laki-laki pada penis dan perempuan pada klitorisnya.
Pada tahapan ini terjadi juga apa yang disebut Freud sebagai kompleks Oedipus. Kompleks Oedipus merupakan proses permusuhan terhadap orangtua sejenis. Secara gamblang, si anak akan memusuhi orangtua sejenisnya untuk mendapatkan cinta dan perhatian dari orangtua lawan jenisnya.
            Kritik Feminis Standar terhadap Freud
karena kecemburuan terhadap penis, srta gagasan yang berhubungan dengan itu, gagasan yang berhubungan dengan perempuan. Betty Friedan, Shulamit Fristone, dan Kate Millet berpendapat bahwasanya posisi dan ketidak berdayaan perempuan terhadap laki-laki kecil hubungannya dengan biologi perempuan, dan sangat berhubungan erat dengan konstruksi sosial atas feminitas.
Menurut Betty Friedan, gagasan Freud dibentuk olehkebudayaan yang digambarkan sebagai “Victorian”. Hal yang paling mengganggu Freudan tentang Freud adalah apa yang dianggap sebagai gagasan Freud atas determinisme biologis . dalam hal ini Freud beranggapan bahwasanya peran reproduski, identitas gender dan kecenderungan seksual perempuan di tentukan oleh ketidak adanya penis. Selain itu Freudan juga menolak apa yang dianggapnya sebagai “pengajekan” Freud atas seks. Hal ini mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa ketidaknyamanan serta ketidak puasan perempuan berasal dari ketikadanya penis saja, dan bukan setatus sosial ekonomi serta budaya yang di untungkan oleh laki-laki, Freud mengarahkan perempuan untuk percaya secara salah bahwa perempuan telah cacat. Selain itu Freud juga mengansumsiukan bahwasanya perempuan dapat menganti penis dengan bayi, oleh karena itu Freudian menyalahkan Freud yang telah menjadikan pengalaman seksua secara spesifik. Secara khusus dia mengutuk Freud karena telah mendorong perempuan untuk menjadi reseptif, pasif, bergantung pada orang, dan selalu siap untuk mencapai apa yang seharusnya menjadi tujuan ahir dari kehidupan seksual mereka :kehamilan.
  Mencari Psikoanalisis dalam arah feminis
Psikoanalisis menyimpulkan bahwa freud dan pengikutnya Helena Deu dan Erik Erikson memberikan konstribusinya terhadap perempuan. Namun mereka juga percaya bahwasanya teks Freudian dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan feminis dan bukan tujuan feminis. Asalkan feminisme mereinterpretasi teks-teks ini dengan menolak doktrin determinisme biologis, dengan menekan pada tahapan pra-odipal sebagai kebalikan tahapan perkembangan seksual manusia, atau dengan menceritakan kisah Oedipal dengan suara yang non patriarkal.
Menolak Determinisme Biologis Freud
Psikoanalisis feminis awal seperti Alfred Adler, Karen Horney dan Clara Thomson telah merasa yakin bahwa identitas gender, perilaku gender merupakan hasil dari fakta biologis. Sebaliknya kesemua itu merupakan hasil dari nilai-nilai sosial. Dengan menegaskan bahwasanya sifat perempuan bukanlah takdirnya bahwa kekurangan akan penis menjadi penting hanya karena masyarakat lebih cenderung mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Ketiga teoris ini mempunyai pandangan masing-masing mengenai perempaun.
Ø  Alfred Adler
Menurut Adler, laki-laki dan perempuan itu sama dan dilahirkan tanpa adanya kemampuan. Dan pengalaman hidup manusia yang mengajarkan untuk mencapai “superioritas” hal ini tidak memandang orang itu laki-laki maupun perempuan. Bentuk biologis seseorang tidak secaralogis atau dapat dihindari, mengarah pada sifat psikolog tertentu. Sebaliknya menurut Adler, manusia mempunyai”Diri kreatif” yang sejumlah makna yang mungkin terhadap takdir. Menurut Adler takdir kita adalah semata-mata material yang digunakan untuk membentuk Diri unik kita. Dengan memprtimbangkan asumsi filosofis mengenai kelenturan manusia, Adler dapat memberikan interesentasi yang nondetermistik menderita rasa inferioritas. Intinya adler berpendapat bahwa semua manusia baik itu laki-laki ataupun perempuan mempunyai kemampuan yang kreatif serta harat untuk memberdayakan dirinya melalui fikiran ataupun tindakan.
Ø  Karen Horney
Horney juga sependapat dengan Adler, bahwasanya lingkungan juga mempengaruhi perkembangan seseorang sebagai manusia. Horney adalah salah satu mahasiswa ilmu kedokteran di Berlin, dia mengalami bagaimana perempuan dibatasi kreatif prempuan. Ia mengkleim bahwa persaan inferior perempuan bukanlah berasal dari kesadaran perempuan akan kastrasinya, melainkan dari kesadaran akan subordinasi sosialnya. Horney mengakui bahwasanya perempuan tidak memiliki kekutan atau kekuasaan yang dipersentasikan oleh penis, ia menolak bahwasanya “perempuan biasa saja” secara radikal cacat, hanya karna perempuan tidak memiliki penis. Sebaliknya ia berargumen bahwasanya perempuan dipaksa untuk menjadi feminin dan mencoba meyakinkan bahwa perempuan menyukai sifat femuinin. Apabila ada seorang perempuan yang mengingikan sifat maskulin dianggap ”sakit” yang menderita “kompleks maskulin” yang melarikan diri dari keperempuan”penggerak dan pengguncang” dalam masyarakat “sakit”. Namun sebaliknya dengan Horney  menggambarkan bahwasanya perempuan seperti itu sebagai manusia yang berjuang untuk mencapai keseimbangan di antara tiga penarik yang berbeda didalam karakternya: penarik yang tidak menonjolkan diri, penarik yang mendendam diri, dan penarik yang ekspansif. Merasa tidak puas dengan setatusnya yang merasa tidak berdaya dan hanya di belakang layar, perempuan yang memilih untuk melampaui”feminitas” adalah ia yang sedang menciptakan Diri edeal yang menciptakan sifat maskulin dan juga feminine. Dengan kata lain perempuan-perempuan yang  mengetahui bagaimana anggapan masyarakat terhadap dirinya yang bukan lagi biologi yang menjadikan perempuan dimasyarakat itu pada umumnya. Setelah perempuan menyadari bagaimana perempuan sudah setara dengan dirinya maka masyarakat hanya memiliki kekuatan yang sangat kecil.
Ø  Clara Thomson
Clara juga sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Adler dan juga Horney dalam memberikan gambaran perkembangan sebagai proses perkembangan yang menjauh dari fakta biologis seseorang, yang lebih mengarah pada proses pengasahan seseorang.
Thomson menjelaskan bahwa pasivitas perempuan sebagai produk dari serangkaian hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak simentris dalam hal kepatuhan konstan kepada otoritas laki-laki menyebabkan perempuan mempunyai ego yang lemah daripada laki-laki. Identitas yang demikian bukan berasal dari perempuan itu sendiri melainkan dari lingkungan masyarakat. Selain itu Thomson juga percaya kebencian terhadap diri sendiri bukanlah fakta dari biologis melainkan dari interpentasi kebudayaan terhadap fakta biologis itu. Oleh sebab itu, perubahan setruktur hukum sosial, politik, ekonomi adalah penting sebagai tranformasi psikologi perempuan.
Dalam proses mereinterpretasi pengamatan Freud, Adler, Horney dan Thomson melampaui”Guru-nya” pertama-tama mereka berbicara mengenai bias maskulin dan domonasi laki-laki kemudian menawarkan analisis politis dan psikoanalisis atas situasi perempuan, sesuatu yang tidak di sentuh oleh Freud. Kedua, mereka menawarkan teori uniter mengenai perkembangan manusia yang tidak memandang laki-laki dalam dua jalur perkembangan yang terpisah dan   untuk menuju tujuan perkembangan yang juga terpisah. Sebaliknya Adler, Horney, dan Thompson bersikeras bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan menginginkan hal yang sama, kesempatan untuk membentuk takdirnya secara kreatif dan aktif. Ketiga psikoanalisis ini mengklaim diri sebagai identitas yang berkembang secara unik dan berada pada setiap manusia. Bagi Adler, Horney, dan Thompson tidak ada dari satu laki-laki yang secara universal normal, sehat, dan alamiah bagi semua laki-laki, serta diri perempuan yang secara universal sehat, normal dan alamiah bagi semua perempuan yang lebih tepat adalah bahwa jumlah diri manusia adalah sama dengan jumlah manusia individual.
Argumentasi Feminis yang Mendukung dan Menentang Pengasuhan Ganda
Feminis psikoanalisis Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow berpendapat bahwa dengan tidak terlalu memfokuskan kepada tahapan Oedipal, dan lebih kepada tahapan pra-Oedipal dari perkembangan seksual, keduanya dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja masyarakat patriarkalmengkonstruksi seksualitas dan gender yang menciptakan dan memelihara dominasi laki-laki. Menurut Dinnerstein dan Chodorow jika saja laki-laki melakukan fungsi mothering sebanyak perempuan, anak laki-laki dan perempuan akan tumbuh dengan kesadaran bahwa baik ayah maupun ibu mempunyai kelemahan dan ketahanan yang baik itu laki-laki maupun perempuan, tidak seharusnya dipermasalahkan atas kondisi manusiawinya.
Dorothy Dinnerstein: The mermaid and The Minotaur.
Menurut pendapat Dinnerstein, pengaturan gender derstruktif adalah hasil langsung dari peran perempuan dalam pengasuhan anak dan kecenderungan sosial yang mengikutinya untuk menyalhkan perempuan atas segala sesuatu yang salah mengenai diri kita sendiri terutama pada dirikita sendiri yang memiliki keterbatasan yang ditakdirkan untuk melakukan kesalahan, membusuk dan mati.
Pertama pengasuhan ganda menurut Dinnerstein akan memungkinkan kita untuk berhenti memproyeksikan semua ambivalensi kita mengenai karnalitas dan moralitas kepada satu orang tua perempuan. Karena kedua orang tua akan terlibat dalam proses pengasuhan sejak kelahiran bayi, kita tidak akan lagi menghubungkan keterbatasan ragawi kita terhadap orangtua yang perempuan saja. Kedua pengasuhan ganda akan memungkinkan kita mengatasi ambivalensi kita tentang pertumbuhan. Kita tetap bersikap kekanak-kanakan karena kita memandang kehidupan seolah-olah itu adalah drama yang memberikan perempuan satu peran tertentu dan laki-laki mempunyai peran yang lain. Ketiga pengasuhan ganda juga akan membantu kita untuk mengatasi ambivalensi kita terhadap eksistensi manusia yang terpisah. Karena kita cenderung untuk memandang orang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan untuk membuat kita merasa lebih baik.
Akhirnya Dinnerstein percaya bahwa pengasuhan ganda akan membantu kita mengatasi ambivalensi kita terhadap usaha-usaha publik. Semua laki-laki cenderung menjadikan pembangunan dunia sebagai pertahanan melawan kematian.
NANCY CHODOROW: The Reproduction of Mothering.
Disini Nancy Chodorow mempertanyakan kenapa setiap perempuan ingin menjadi seorang ibu,bahkan ketika dia tidak menjadi ibu. Dengan menolak gagasan Freud bahwa bagi perempuan bayi adalah pengganti penis, sehingga Ia memutuskan untuk mencari tau atas jawabanya melalui analisa tahapan perkembangan psikoseksual pra-oedipal dan bukan dari tahapan oedipal.  Jika saja anak laki-laki dan perempuan di besarkan bersama mampu menyatu dan memisahkan diri maupun menghargai hubungan dengan liyan, dan mempunyai kebanggaan atas otonomi mereka. Jika saja anak laki-laki dan perempuan di besarkan oleh kedua orangtuanya perlu menyeimbangkan kepentingan orang lain. Sehingga anak tidak akan memandang rumah sebagai ranah perempuan dan publik sebagai ranah laki-laki dan mereka akan menyadari bahwasanya manusia harus menghabiskan waktunya di luar untuk bekerja dan sisa waktunya untuk keluarga.
Perbandingan dan Perbedaan antara Dinnerstein dan Chodorow
Perbedaan dengan keduanya merupakan perbedaan penekakan daripada subtansinya. Dennerstein lebih merupakan perbedaan penekanan daripada subtansisnya. Dia memfokuskan pada ketidak mampuan laki-laki dan perempuan untuk mengatasi rasa ketidak mampuan di masa dewasa, sebagaimana yang disarankan ketika masa mereka bayi, yang hidupnya tergantung pada perempuan yang berubah-ubah pada ibunya,Chodorow  menekankan kebutuhan pada kebutuhan di luar kesadaran laki-laki dan perempuan untuk mereproduksi pengalaman simbiosis dengan ibunya pada masa dia masih bayi dan menghadirkanya pada masadia sudah dewasa. Dia memandang hubungan ibu dan anak pada dasarnya adalah patilogis, sementara chodorow memandang hubungan itu secara fundamental sehat.
Alih-alih perbedaannya, baik Dinnerstein maupun Chodorow sama-sama menegaskan bahwa pengasuhan ganda adalah penyelesaian maslah yang berhubungan dengan pengasuhan oleh perempuan. Mothering harus menjadi parenting(menjadi orangtua) jika perempuan tidak ingin lagi dipermasalahkan atas bayi yang merengek dan laki-laki yang pemarah.
Kritik terhadap Dinnerstein, Chodorow dan Pengasuhan Ganda.
Kritikus menyalahkan Denerstein dan Chodorow atas tiga alasan. Pertama, mereka mengeluhkan bahwa kedua teoritis tersebut menekankan bahwa akar poenyebab oprasi terhadap perempuan lebih bersifat psikologi daripada sosial. Kedua, para kritikus keberatan terhadap apa yang mereka anggap nsebagai kegagalanDinnerstein dan Chodorow untuk menghargai berbagai bentuk keluarga, baik antara kbudayaan maupun di dalam suatu kebudayaan. Ketiga, para kritikus keberatan akan perpecahan, yang blebih disukai oleh Chodorow dan Dinnerstein atas opsesi terhadap perempuan yaitu dengan menciptakan dan memertahankan sistem pengasuhan ganda.
Menuju Reinterpretasi Feminis dari Kompleks Oedipus : Juliet Mitchell : Psychoanalysis and Feminis Dalam pemahaman Mitchell, teori freud bukanlah semata-mata ajaran dangkal “Biologi adalah takdir”.”sebaliknya, teori Freud adalah teori yang menunjukan bagaimana mahluk sosial muncul dari mahluk biologis. Meskipun Freud mempelajari perkembangan psikoseksual diantara kelompok orang manapun.
Ketika Mitchell sependapat dengan Freud bahwa situasi Oedipal adalah Universal, ia berpendapat bahwa tanpa pelarangan terhadap inses manusia adalah suatu ketidak mungkinan. Seperti halnya yang di jelaskan oleh  Levi-Strauss, tabu inses adalah penggerak yang melarang hubungan seksual dalam keluaga, memaksa manusia untuk membentuk organisasi sosial yang lebih besar dari yang lain. Namun tidak sekedar pelarangan terhadap hubungan seksual dalam keluarga tidaklah cukup, menurut Mitchell, hukum bagi prtukaran perempuan berpangkal dari ketidaksadaran yang dalam, yang muncul secara menyakitkan selama menyelesaikan kompleks odipus pada setiap orang.
Feminisme Gender
Seperti halnya dengan feminisme psikoanalisis yang tertarik pada perbedaan yang membedakan psike perempuan dari psike laki-laki. Msekipun demikian, tidak seperti halnya dengan femimis psikoanalisis, feminis gender tidak membahas maslah perkembangan anak. Menurut feminis gender, anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi anak laki-laki dan anak perempuan dewasa dengan nilai serta kebaikan gender yang khas dan merefleksikan kepentingannya keterpisahanpada kehidupan laki-laki dan pentingnya ketertarikan hidup terhadap perempuan dan berfungsi untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Carol Gilligan : Ina Different Voice
Menurut pendapatnya penekanan laki-laki terhadap pemisahan dan otonomi mengarahkan mereka untuk mengembangkan suatu gaya penalaran moral. Sebaliknya penekanan pada perempuan mengaerahkan mereka pada perkembangan moral. Namun dari sekelompok orang berpendapat bahwasanya gaya moral perempuan tidak lebih valid daripada gaya moral laki-laki.  

Gilligan menngacu kepada mantan mentornya sendiri, Lawrence Kohlberg dari Havard, untuk menunjukkan kritiknya secara khusus. Menurut Kohlberg, perkembangan moral terdiri dari enam tahapan, yaitu. Tahap satu adalah “orientasi hukuman dan kepatuhan” untuk menghindari “tongkat” hukuman dan / atau menerima hadiah. Seorang anak akan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Tahap kedua “orientasi relativis instrumental”. “Berdasarkan prinsip resiprositas”. Tahap ketiga kesesuaian interpersonal atau orientasi anak laki-laki yang baik dan anak perempuan yang manis. Tahap keempat orientasi hukuman dan tatanan. Tahap kelima orientasi legalistik social kontrak. Tahap keenam orientasi prinsip etis universal.
Gilligan mengabaikan skala enam tahap Kohlberg bukan karena ia menganggap skala itu sama sekali tidak mempunyai kebaikan, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa anak perempuan dan perempuan dewasa yang dites dengan menggunakan skala ini jarang yang dapat melampaui tahap ketiga. Karena ditakutkan mereka memahami bahwa perempuan tidak memiliki moral seperti laki-laki.
Gilligan melakukan suatu studi empiris dari 29 perempuan hamil. Setiap perempuan ini berada dalam proses untuk memutuskan apakah mereka akan melakukan aborsi ataupun tidak. Ia mewawancarai mereka selama pengambilan keputusan, dan beberapa waktu setelah mereka mengambil keputusan. Gilligan akhirnya menyimpulkan bahwa berapa pun umur mereka, apapun kelas social, status perkawinan, atau latar belakang etnik, setiap perempuan ini memanifestasi suatu cara berfikir tentang masalah moral yang sangat berbeda dengan cara fikir laki-laki.
Nel Noddings : Kepedulian dan Perempuan dan Kejahatan
Seperti Gilligan, feminis gender Nel Noddings mengklaim bahwa perempuan dan laki-laki berbicara dalam bahasa moral yang berbeda, dan kebudayaan kita lebih menguntungkan etika keadilan yang maskulin daripada etika kepedulian yang feminim. Etika, tegas NOddings adalah mengenai hubungan tertentu, yang dalam hal ini “hubungan” bermakna “suatu rangkaian pasangan yang teratur yang berasal dari aturan tertentu yang menggambarkan pengaruh atau pengalaman subyektif dari anggota-anggotanya.
Tidak seperti Gilligan, Noddings secara tidak ambivalen mengklaim bahwa suatu etika kepedulian bukan saja beda melainkan lebih baik daripada etika keadilan. Menurut pendapatnya kita harus menolak segala aturan dan prinsip-prinsip sebagai penuntun utama terhadap perilaku etis, dan juga segala gagasan yang mengikutinya atas universalibilitas.
Kritik terhadap Etika Kepedulian Gilligan dan Noddings
Gilligan menyatakan bahwa bukanlah maksudnya untuk membuat generalisasi berdasarkan jenis kelamin yang bermakna, misalnya semua laki-laki yang menganut etika keadilan, serta semua perempuan yang menganut etika kepedulian. Sedangkan laki-laki jika Gilligan melakukan generalisasi berdasarkan jenis kelamin para kritikus mencatat bahwa laki-laki berfokus pada hak, klaim, tuntutan kepentingan sendiri, tugas yang ketat, kewajiban, dan beban. Sedangkan perempuan berfokus pada tanggung jawabdan pentingnya memberikan tanggapan empatis terhadap orang lain, seperti merawat dan memberikan bantuan.
Perdebatan pertama berfokus pada metodologi yang diaplikasikan oleh Gilligan, mereka mengklaim bahwa perempuan dalam kajian aborsi Gilligan datang dari beragam latar belakang. Perdebatan kedua dipicu oleh karya Gilligan yang berpusat pada konsekuensi negative dari pengasosiasian perempuan dengan etika kepedulian. Menghubungkan perempuan dengan etika kepedulian adalah mempromosikan pandangan bahwa perempuan secara alamiah memang peduli atau perawat.
Contoh kepedulian perempuan terhadap laki-laki merupakan suatu gerakan merendahkan diri kolektif yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki, suatu penegasan atas pentingnya laki-laki yang tidak membalas dengan sikap yang sama terhadap perempuan.
Untuk alasan-alasan yang berhubungan dengan kekhawatiran umum Bartky mengenai semua etika kepedulian yang manapun, filsuf Bill puka melakukan kritik yang spesifik terhadap etika kepedulian Gilligan. Ia mengklaim bahwa kepedulian dapat diinterpretasi dengan dua cara : 1. Dengan cara Gilligan, “suatu orientasi umum terhadap perkembangan moral” ; atau 2. dengan cara Puka, “sebagai suatu orientasi pelayanan yang seksis yang domain terutama dalam sosialisasi, konvensi social, serta patriarkal di banyak kebudayaan. Mereka menginterpretasi kepedulian seperti Gilligan akan menelusuri perkembangan moral perempuan melalui tiga tingkatan yang telah disajikan lebih awal dalam bab ini. Sebaliknya, mereka yang menginterpretasi kepedulian dengan cara Puka akan memandang apa yang seharusnya merupakan tingkatan perkembangan moral. Pertama-tama ia menginterpretasi ulang penalaran moral tingkat Gilligan,yang berorientasi pada diri sendiri sebagai strategi perlindungan diri dan kepentingan diri yang digunakan oleh perempuan. Kedua, Puka mereinterpretasi penalaran moral tingkat dua Gilligan yag diarahkan kepada yang lain sebagai suatu kelanjutan dari “pendekatan perbudakan konvensional”, yang secara tipikal diadopsi perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Akhirnya Puka menginterpretasi ulang penalaran moral diri dan liyan sebagai suatu mekanisme mengatasi masalah yang melibatkan baik elemen perlindungan diri dan perbudakan: “pada tingkat ini seseorang perempuan belajar untuk mengetahui kapan ia menunjukkan kekuatannya, dan dimana ia sebaiknya tunduk pada struktur.
Meskipun beberapa kritik yang diarahkan kepada Noddings menggemakan kritik yang diarahkan pada Gilligan seperti yang ditawarkan oleh Sarah Lucia Hoagland, sangatlah berbeda. Dia mengkalim bahwa Nodding telah melakukan kesalahan dalam melakukan pendekatan terhadap suatu hubungan secara fundamental tidak sejajar, seperti halnya hubungan anak dan ibu. Ketiga Hoagland mempertanyakan pandangan Noddings bahwa ketidaksetaraan dalam kemampuan membuat suatu hubungan tidak setara. Sebaliknya ia mengklaim bahwa ketidak setaraan dalam kekuasaan membuat satu hubungan tidak setara.
Hoagland menyalahkan Noddings karena telah mengimplikasikan bahwa pemberi kepedulian yang paling baik tidak pernah berhenti mempedulikan, apapun harga yang harus dibayarnya. Hoagland juga memperingatkan bahwa ada yang lebih penting daripada kehidupan moral daripada sekedar anggapan terhadap kebutuhan dan keinginan yang lain. Ia beranggapan bahwa secara moral Noddings juga salah ketika ia mengimplikasikan paradigma bagi seorang istri yang mengalami kekerasan untuk meninggalkan suaminya dan bahkan membunuh suaminya.