A.
Hasil Wawancara Perempuan Inferior Dan Laki-Laki
Superior
Beberapa hari yang lalu saya
melakukan wawancara pada seorang
perempuan yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya, bisa dikatakan juga masih
tetangga. Yaitu didesa Kerajan, kita
bisa memangilnya mbak Dina (bukan nama asli), dia adalah seorang perempuan yang
polos, tidak suka neko-neko dan juga baik, sewaktu muda mbak Dina sudah ditinggal
ayahnya, ayahnya meninggal dunia saat mbak Dina masih sekitar umur 21 semenjak
itu mbak Dina sebagai tulang punggung keluarganya, karena mbak Dina anak
tunggal dan ibunya sudah tidak mampu bekerja berat karena ibunya terkena sakit
gula (kencing manis) dan itu mengahruskan mbak Dina bekerja, dan mbak Dina
kerja di slahsatu pabrik di Ngunut kata ibunya, selain itu saya juga bertanya
tentang hal ini pada tetangga sekitar yang kebetulan saya juga kenal, beliaupun
juga memberi jawban yang sama pula dengan apa yang dikatakan ibunya mbak Dina
bahwasanya mbak Dina adalah perempuan yang baik dan tidak suka neko-neko bisa
dikatakan dia adalah perempuan rumahan sejak remaja.
Pada tahun 2005 mbak dina menikah
dengan seorang laki-laki yang tidak jauh dari rumahnya namun beda desa, pada
saat itu tidak ada keluarga yang mengetahui jika mbak Dina telah merajut kasih
dengan peria itu, pada ahirnya ahir tahun 2005 mbak Dina menikah dan tahun 2007
mbak Dina melahirkan seorang putra pertamanya. Dari sinilah mbak Dina mulai
merasakan keanehan, karena suaminya mulai main tangan dan juga kata-kata yang
tidak seharusnya di ucapkan oleh suami kepada
istrinya.
Hampir setiap hari mbak Dina
mendapat pukulan dari suaminya, meskipun mbak Dina tidak melakukan kesalahan.
Jika anaknya jatuh atau dimarahi oleh mbak Dina maka suaminya juga tidak
segan-segan untuk memukulnya, meskipun disitu banyak orang. Banyak sodara dan
juga ibunya untuk menyudahi pernikahannya karena tidak tega melihat mbak Dina
yang selalu disiksa oleh suaminya, namun mbak Dina tidak mau dan tetap bertahan,
alasannya karena demi anak yang masih kecil sehingga. Pada satu hari mbak Dina
mendapati suaminya sedang berada di kafe bersama teman-temannya yang berpesta
minuman keras dan juga obat-obatan terlarang, mbak Dina pun menyuruh suaminya
untuk pulang, saat itu suaminya juga pulang dan smapai dirumah mbak Dina
langsung di pukul pas bagian plipis kanannya dan mengeluarkan kata-kata yang
tidak pantas, setelah puas memukuli mbak Dina, suaminya langsung pergi dan
pulang-pulang malam.
Sejak kejadian itulah mbak Dina
menjadi sosok yang pendiam dan juga tidak pernah keluar rumah kata ibunya, sekarang
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mbak Dina di rumah juga bekerja sebagai
buruh pembuat keset dari kain perca karena suaminya tidak lagi mau bekerja dan
hanya dirumah jika pagi hanya minum kopi minta sarapan sambil menghidupkan musik
yang sangat keras, jika sore sampai malam suaminya akan pergi dan tidak pernah
ketinggalan pergi ke kafe bersama teman-temannya sampai larut malam bahkan
sampai pagi, kata mbak Dina.
Namun mbak Dina juga hanya diam
tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk menegur kelakuan suaminya yang
demikian, pada satu hari mbak Dina merasa sudah tidak sanggup lagi untuk
menahan rasa sakit yang dialaminya, yang setiap hari hanya mendapat siksaan.
Mbak Dina melarikan diri dari rumah dan ingin menjadi TKW di Hongkong pada
waktu itu (didesa tempat saya tinggal banyak perempuan yang menjadi TKW),
hampir satu minggu mbak Dina tidak pulang kerumah dan pergi kerumah teman yang
suaminya tidak tau. Dari situlah suaminya semakin menjadi dan mencari
kerumah-rumah sodaranya sambil mengatakan hal-hal yang tidak pantas, kata mbak
Dina. Ahirnya mbak Dina pulang dengan meminta beberapa persaratan pada
suaminya, dan dipenuhilah oleh suaminya. Dari sini mereka hidup rukun kembali,
namun hanya beberapa waktu saja dan kembali ke sifat aslinya yang tidak mau
kalah dan mengalah. Akan tetapi jika suaminya mbak Dina meminta haknya mbak
Dina tetap memenuhinya.
Tegasnya, sebagai istri yang taat
pada suami karena surganya dibawa oleh sang suami untuk saat ini, jadi meskipun
bagaimana pun mbak Dina juga harus memenuhinya, ahirnya mbak Dina hamil anak
yang ke 2. Hal ini tidaklah sama dengan apa yang sudah dituliskan oleh
feminisme radikal (pembebasan perempuan) yang menulis, tubuh perempuan
merupakan obyek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Penguasaan fisik
perempuan oleh laki-laki seperti hubungan selksual adalah bentuk dasar
penindasan. Oleh karena itu feminisme radikal mempermalahkan tubuh serta
hak-hak reproduksi, seksualitsa, relasi kekuasa perempuan dan laki-laki dan
otonomi privat publik. Namun dalam hal ini belum juga ada perlawanan dari mbak
Dina yang secara terang dia mengetahui bahwa itu hal yang salah dan harus
disudahi. Apa mungkin kurangnya kesadaran pada masyarakat dan juga si perempuan
yang tidak tahu bahwasanya dia sedang di tindas. Sepertihalnya yang dijelaskan
dalam feminis psikoanalisis dan gender, yang percaya bahwasanya penjelasan
fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan,
terutama dalam cara berfikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud, seperti tahap
oedipal dan kompleks Oedipus, mereka mengkleim bahwasanya ketidak setaraan
gender berakar dari rangkaian pengalaman pada masa anak-anak awal mereka, yang
bukan saja cara laki-laki memandang dirinya sebagi maskulin dan perempuan
dengan feminine, melainkan juga cara pandang masyarakat bahwasanya maskulin
lebih baik daripada feminin.
Diawal kehamilan, suami mbak Dina mengajaknya
untuk membuat rumah sendiri dan tidak tinggal dengan mertua, itupun yang
mendanai adalah orang tua dari suami mbak Dina, kata mbak Dina mertuanya menjual
sebagian tanahnya untuk memodalinya
membuat rumah. Maklum, suami dari mbak Dina adalah keluarga yang mampu dan
memiliki tanah yang kucup banyak didesa tempat tinggalnya, sedangkan mbak Dina
dari keluarga yang bisa dikatakan tidak mampu. Dan hanya mengandalkan uang dari buruh tani,
dulu saat orang tua dari mbak Dina masih
sehat, sampai ayahnya mbk Dina meninggal dan ibunya tidak bisa lagi kerja. Dari
sini saya teringat teori feminisme Radikal yang memandang masalah perempuan
dalam kerangka kritik kapitalisme, asumsinya sumber penindasan perempuan
berasaldari eksploitasi kelas dan cara produksi. Setatus peremuan jatuh karena
adanya konsep kekayaan pribadi (privat property) kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan
pertukaran(exchange).
Karena, dulunya mbak Dina hanya
menafkahi ibunya saja tapi sekarang harus menafkahi ibu, anak dan juga
suaminya. Dan harta dari suaminya dipegang oleh orang tuanya dan orangtuanya
pun tidak pernah menasehati anaknya untuk menjadi suami yang selayaknya, suami
bagi istri dan ayah bagi anaknya, tegas mbak Dina. Namun hal ini tidak selesai
sampai disini saja, saat proses pembangunan rumah mbak Dina sedang hamil tua
dan dia juga disuruh bantu angkat-angkat semen yang sudah dicampur dengan
pasir. Ya namanya ibu hamil tua pasti gampang capek, dan saat itu mbak Dina sedang
duduk di teras rumah yang setengah jadi itu. Mbak Dina kaget setelah suami nya
datang dan mengguyurkan semen dan juga pasir yang dibawanya kejadian itu yang
membuat mbak Dina pulang kerumah orang tuanya dan tidak lagi mau tinggal di
rumah mertuanya, karena sejak proses pembangunan rumahnya mbak Dina diboyong
suaminya ke rumah orang tuanya. Saat anaknya sudah umur 2 tahun, mbak Dina memutuskan untuk bercerai dengan suaminya,
namun sebelumnya mbak Dina sempat melarikan diri dan bekerja menjadi pembantu
rumah tangga dan pabrik bawang goreng di Tulungagung kota sampai saat ini. Meskipun
mbak Dina sudah memutuskan untuk bercerai dan sudah di jelaskan pada keluarga
sang suami namun suami mbak Dina tetap tidak mau pisah dengan alasan akan
berubah, namun selama hampir 2 tahun tetap juga tidak ada perubahan dan tidak
mau bercerai.
Mbak Dina juga menjelaskan jika
suaminya pernah mengancam jika mbak Dina menikah lagi dan suaminya tau jika
mbak Dina bersama laki-laki lain maka suaminya tidak segan-segan akan membunuh
laki-laki yang sedang bersama mbak Dina, meskipun mereka sudah bercerai. Karena
suaminya mengaggap bagaimanapun mbak Dina hanya miliknya tidak ada orang yang
boleh memegang atau bahkan memilikinya, tegas dari mbak Dina kenapa suaminya
bisa melakukan hal ini karena sejak masih pacaran mbak Dina selalu berkata
“iya” pada semua yang dikatan suaminya, karena mbak Dina merasa takut
kehilangan orang yang disayangi terlebih suaminya dari keluarga yang berada,
sehingga keluarga besar dan suaminya merasa berkuasa akan dirinya dan ibunya. Sampai
saat ini pun keinginan bercerai pada suaminya tidak juga terlaksana karena
suaminya beri kukuh tidak mau bercerai. Sama halnya yang dikatakan French,
bahwa opresi laki-laki terhadap perempuan secara logika mengarahkan pada sistem
lain bentuk dominasi manusia. Karena French percaya bahwa seksisme adalah
modeldari isme-isme lain, termasuk rasisme dan kelasisme, ia juga berusaha
menjelaskan ideologi “power over”(berkuasa
atas)yang menopangnya, dan ideologi”pleasure
with”(kenikmatan dengan)yang membebaskan dan dapat membongkar ideologi
pengasuhan itu.
Dari sini saya melihat
bahwasanya, perempaun masih takut dengan peran laki-laki. Laki-laki yang
terus-terusan menindas dan juga menang sendiri, tidak mau melihat penderitaan
perempuan. Lagi-lagi kelas yang nentukan kekuasaan seseorang. Dan menuntut
perempuan harus tunduk dengan laki-laki, karena menurut saya laki-laki juga
harus menyadari bahwasanya perempuan tidak ditakdirkan menjadi seseorang yang
pasif, dan laki-laki ditakdirkan menjadi seseorang yang aktif, dan dapat
menguasai perempuan dalam segala hal. Dalam
feminisme Pesikoanalisis juga dijelaskan bahwasanya dalam masyarakat
nonpatriarkal, maskulinitas dan juga feminitas akan dikonstruksi secara beda
dan dihargai secara setara, feminis psikoanalisis merekomendasikan bahwa kita
harus bergerak maju menuju masyarakat androgin, yang di dalam masyarakat ini
manusia yang seutuhnya merupakan campuran sifat-sifat positif femini dan
maskulin.
B.
Hasil Wawancara Perempuan Bersifat Maskulin
Mungkin kita sudah tidak asing
lagi dengan definisi perempuan tomboy, diantara teman-teman kita mungkin ada beberapa
yang mempunyai karakter itu. Saya beberapa hari yang lalu membuat janji dengan
teman saya sewaktu MTs, dia adalah teman satu kelas saya panggil saja dia Sofie(bukan
nama asli), sebenarnya definisi tomboy mengacu pada tingkah laku anak yang
dikaitkan dengan jenis kelamin. Perilaku tomboy ini dianggap kategori normal
atau wajar untuk anak usia balita yang sedang pada tahap suka meniru perilaku
orang lain. Meskipun begitu banyak orang tua yang mengkhawatirkan perilaku
tomboy yang ditunjukkan oleh buah hatinya, karena takutnya perilaku tomboy ini
akan terbawa hingga anak dewasa, namun ada juga sifat ini muncul setelah
dewasa. Bahwasanya perlu bagi orang tua untuk memperhatikan pola asuh anak saat
masih kecil. Tapi tidak dengan teman saya ini, teman saya ini mengaku jika dia
sejak SD sudah suka dengan permainan ataupun penampilan yang identik dengan
sifat maskulin, karena dia merasa jika dia seperti itu dia akan mersa kuat dan
juga tidak ada orang yang berani dengannya.
Mungkin karena sofie yang sudah
lama ditinggal ayah nya merantau menjadi TKI di Singapur dan dirumah dia hanya bersama
ibunya, dia merasa jika harus menjaga ibunya terlebih ibunya saat itu sedang
hamil tua. Darisini sofie berfikir jika menjadi seorang perempuan dia akan
selalu dianggap lemah, karena identiuk dengan sifat yang lemah lembut dan
ahirnya dia memutuskan untuk berubah menjdi sosok yang maskulin dan mengikuti
olahraga bela diri disekitar rumahnya. Karakter ini terbawa sampai dia masuk di
MTs, pada saat sofie sudah kelas 3 MTs ayah nya pulang dari Singapur dan
memutuskan untuk bekerja di rumah dan tidak kembali menjdai TKI di luar Nergi,
dari sinilah Sofie merasa jika ibu dan juga adiknya sudah ada yang melindungi
yaitu sosok ayah yang dulunya digantikan olehnya, tegas Sofie. kami lulus dari
MTs dan sofie melanjutkan pendidikan ke SMK, masuk ke SMK pun itu karena
dorongan dari orang tua nya dan mengambil jurusan perkantoran dari sinilah
sofie merasa harus berubah dari segi penampilan. Karena disitu dia dituntut
harus rapi. Yang awalnya tidak suka memakai rok dia harus memakai rok, jangankan
rok memakai celana panjang saja dia tidak suka, dan dia masuk ke SMK yang tidak
mengharuskan dia menggunakan jilbab karena dia tidak suka memakai jilbab sejak
MTs. Namun setelah masuk SMK dia menjadi lebih feminin, yang suka merias wajah
dan rambutnya menjadi panjang karena dulu dia tidak pernah mempunyai rambut
panjang, meskipun hanya sebahu.
Saya memberi dia beberapa
pertanyaan dan sedikit rasa heran kenapa dia sekarang menjadi sosok yang
feminin, dia menjawab karena lingkungan dan kesadaran dirinya. Tegasnya, di
sekolah dia diwajibkan menjadi sosok yang rapi dan juga feminin, bahkan setiap
hari diwajibkan untuk membawa alat kecantikan, jika pulang sekolah atau jam
istirahat maka di wajibkan untuk dandan/merapikan diri. Jika kesadaran dari
dirinya sendri muncul saat dia melihat teman-temannya yang sudah pandai merawat
dirinya dan tampil modis dengan sifat
feminin nya, bisa dikatakan malu dengan lingkungan dan juga umur. Bahwasanya
dia menyadari jika dia dilahirkan menjadi seorang perempuan yang mempunyai
sifat feminin bukan menjadi seorang laki-laki. Namun sofie mengakui bahwasanya
dia tetap mempertahankan sifat maskulinya dalam dirinya, dia menganggap sifat
itu akan dibutuhkan pada situasi tertentu. Terlebih dia saat ini kuliah di luar
kota yang mengahruskan dia bisa melindungi dirinya sendiri.
Saya bisa melihat perubahan itu
dari beberapa foto yang ada dalam media sosialnya, yang dulu foto-fotonya yang
lebih sering menggunakan kaos-kaos oblong yang identik dengan baju laki-laki,
maklum dulunya dia juga aktif dalam olehraga beladiri di rumahnya, namun saat
ini dia sudah tidak lagi ikut karena jarang pulang ke rumahnya, mungkin hanya
berlatih berapa hari sekali di kostnya, tegas dari sofie. Sekarang sudah
berubah dalam segala hal, baik cara bicara, cara dia berjalan, cara dia
berpenampilan sofie lebih ke pakaian yang feminin, memakai hijab dan juga
memakai rok panjang yang identik dengan peremuan feminin. Bisa dikatan juga bahwasanya
sekarang ini dia mengikuti trand fasion
sekarang ini.
Hal ini sama dengan yang
diungkapkan oleh Mery Daly dalam konsep androgini, Beyond God the Father yang mengatakan, ia menolak model androgini
”pluralis” yang didalam konsepnya memandang, bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai sifat-sifat yang berbeda, tetapi seharusnya setara dan saling
melengkapi. Dan juga model androgini ”asimilasi” yang memandang bahwa perempuan
dan laki-laki harus menggabungkan baik sifat maskulin maupun feminin ke dalam diri
mereka, untuk mencapai kemanusiaan yang penuh. Menurut pandangannya, kedua
model androgin ini tidak memadai, karena maskulinitas ataupun feminitas adalah
konsep yang tidak layak dipertahankan. Dely juga menegaskan bahwa sifat-sifat
feminine yang positif seperti cinta, kelembutan, saling berbagi dan saling
menjaga jaga, harus secara hati-hati dibedakan dari ekses patologisnya, yaitu
jenis “nilai-nilai” feminin masokistik, yang sering kali dimaknai dengan salah.
Misalnya, mencintai adalah baik, namun dalam patriariki mencintai, bagi
perempuan dapat menjadi bentuk pengorbanan total atau martyrdom. Dely
berpendapat bahwasanya konstuksi dari manusia androgin yang sejati, tidak dapat
dan tidak harus dimulai, hingga perempuan mengatakan tidak pada nilai-nilai “moralitas
korban”. Dari kata “tidak” ini akan muncul kata “ya” pada niali-nilai “ethics
of personhood” etika kemanusiaan. Mulaui menolak menjadi Liyan, dengan menjadi
diri dengan kebutuhan, keinginan dan minat sendiri, perempuan akan mengakhiri
peremainian, yang menempatkan laki-lak menjadi tuan dan perempuan sebagai
budak.